Meskipun investasi di Asia mulai melambat , perusahaan venture capital masih sangat tertarik dengan platform social commerce di Indonesia.

Menurut data Tech in Asia , selama empat bulan terakhir, industri tersebut dengan cepat menjadi vertikal yang menerima modal paling banyak di Indonesia, melewati vertikal transportasi, edukasi, fintech , dan e-commerce .

Sebagai salah satu cabang dari e-commerce , startup social commerce membangun jaringan agen offline yang bertugas mempromosikan dan menjual produk ke masyarakat di lingkungan mereka. Model bisnis ini pertama kali muncul di Cina oleh platform seperti Pinduoduo dan baru muncul di Indonesia beberapa bulan terakhir.

Demand untuk sektor ini juga mulai meningkat karena pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang harus tinggal di rumah dan membeli kebutuhan sehari-hari secara online .

Sequoia Capital (Surge) Chilibeli

Insignia Ventures Partners RateS

Lightspeed Venture Partners Chilibeli

Alpha JWC Ventuers Evermos, RateS, Super

Arrive Super

Jungle Ventures Evermos

Menurut partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari, startup social commerce melihat dan mengatasi masalah yang belum bisa ditangani oleh situs e-commerce tradisional seperti Tokopedia , Shopee , dan Lazada .

“Penetrasi e-commerce di Indonesia masih cukup rendah,” ujar Erika. “Karena itulah social commerce punya peluang yang sangat besar.”

Goldman Sachs mendukung pernyataan tersebut melalui laporan terbarunya, yang memperlihatkan penetrasi e-commerce untuk barang fisik baru menginjak angka tujuh persen dari total pasar retail di Indonesia.

Saat ini, Alpha JWC Ventures punya tiga startup social commerce sebagai portofolio mereka. Satu startup memang berdiri sebagai social commerce , sementara dua lainnya punya model bisnis berbeda sebelum terjun ke social commerce .

Saat pandemi COVID-19 masih berlangsung di Indonesia, demand untuk startup social commerce meningkat tajam terutama untuk kebutuhan sehari-hari dan produk kesehatan seperti masker dan antiseptik.

Woobiz yang fokus melayani produk fasyen, kebutuhan sehari-hari, serta produk ibu dan bayi, mengklaim jumlah transaksi harian mereka meningkat hingga empat kali lipat. “Produk seperti suplemen dan sanitasi meningkat lima kali lipat dibanding bulan lalu,” ujar Putri Noor Shaqina, co-founder Woobiz .

Seiring menyebarnya pandemi, banyak juga masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Yang anehnya justru menjadi keuntungan di industri ini.

“Mendapatkan agen dari channel online jadi lebih murah karena tingkat konversinya meningkat. Masyarakat mungkin mulai menggunakan platform kami untuk mencari pemasukan tambahan,” ujar Jake Goh, CEO platform social commerce berbasis membership bernama RateS .

Tapi meskipun model bisnisnya populer dan sedang memiliki momentum, startup social commerce masih terbilang sangat muda di Indonesia. Banyak perusahaan di industri ini hanya memiliki beberapa ribu agen dan penetrasi yang terbatas. Dibanding perusahaan e-commerce besar yang punya jutaan pengguna, mereka masih tertinggal.

Saat ini, total nilai pasar untuk sektor social commerce diestimasi bisa mencapai US$200 miliar (sekitar Rp2,8 kuadriliun). Angka tersebut dituturkan oleh Steven Wongsoredjo, CEO social commerce Super yang dimodali oleh VC milik artis hip-hop Jay-Z.

Fokus pada produk tertentu

Agar bisa berkembang secara signifikan terutama menghadapi perusahaan e-commerce tradisional, perusahaan social commerce perlu menawarkan jenis produk yang tepat.

Super misalnya, fokus di produk FMCG yang biasanya melibatkan transaksi murah tapi dengan volume yang sangat besar. Menurut Steven, keputusan tersebut membuat Super bisa mendapatkan transaksi dalam jumlah besar dengan cepat.

“Kami bisa mengoptimalkan profit setelahnya dengan menjual silang produk yang punya margin lebih baik,” ujarnya.

Startup social commerce lain yaitu Chilibeli , fokus menjual bahan makanan segar seperti sayuran dan buah. Meskipun punya tantangan logistiknya sendiri, perwakilan startup tersebut mengatakan, mereka memiliki volume transaksi yang tinggi. Karena 20 persen pengeluaran keluarga di Indonesia ada di kebutuhan sehari-hari, termasuk salah satunya sayuran dan buah.

Sementara perusahaan lain memilih fokus ke produk seperti fasyen dan perawatan diri dari retailer besar. Mereka pun bisa menawarkan margin harga yang lebih baik. Lalu ada juga yang menjual merchandise dari bisnis kecil yang punya produk-produk unik.

Melihat besarnya pasar Indonesia, Steven memprediksikan bahwa akan ada tiga hingga empat jenis perusahaan social commerce . Masing-masing akan menangani jenis produk, wilayah, serta pengguna yang berbeda.

Chilibeli 1.300 orang dan 600 warung Kebutuhan sehari-hari

Evermos 30.000 penjual terdaftar Fashion

Super Ribuan FMCG

RateS Puluhan ribu FMCG dan produk ibu-anak

Woobiz 7 Fashion dan kebutuhan sehari-hari

Jamanow N/A Fashion dan produk ibu-anak

Kitabeli N/A Produk ibu-anak dan kebutuhan sehari-hari

Bagi para pelaku di sektor ini, karakteristik masyarakat Indonesia yang suka bersosialisasi juga jadi keuntungan. Steven mengatakan, karakteristik tersebut cenderung lebih kental di wilayah terpencil.

“Jika kamu datang ke desa-desa di Indonesia, kamu akan melihat bagaimana masyarakat lokalnya tergabung dalam banyak perkumpulan seperti arisan, PKK, dan masih banyak lagi. Mereka masih belum familier dengan produk dan platform digital, dan masih belum percaya dengan jual-beli online ,” ujarnya.

Erika mengatakan, populernya bisnis multilevel marketing dan skema piramida juga jadi salah satu aspek yang memperkuat posisi model bisnis social selling di Indonesia. Ini karena startup social commerce beroperasi dengan cara yang mirip. Bedanya di social commerce pelanggan hanya berurusan dengan satu orang dan satu lapis agen.

Model hibrida

Mayoritas startup social commerce Indonesia menggunakan model reseller di mana pelanggan bisa membeli produk melalui agen. Tapi startup lain seperti Super mencoba mengambil pendekatan berbeda dengan mengumpulkan berbagai pesanan terlebih dahulu sebelum melakukan transaksi.

“Salah satu bagian dari pengembangan supply chain Super adalah mengembangkan sebuah titik penting di beberapa desa. Titik tersebut akan jadi tempat di mana agen mengambil barang pesanan pelanggan,” ujar Steven.

“Kami juga punya group buying dengan jumlah pesanan minimal untuk memastikan nilai pesanan rata-ratanya tetap menguntungkan untuk kami.”

Meskipun startup social commerce Indonesia ingin jadi seperti perusahaan-perusahaan serupa di Cina seperti Pinduoduo dan Shiuituan, Erika mengatakan, bahwa mereka mungkin tidak akan bisa meniru sepenuhnya.

Pertama, infrastruktur Indonesia masih belum semaju Cina. Indonesia tidak punya aplikasi chat seperti WeChat yang bisa menjangkau audiens dalam jumlah yang besar dan di saat yang sama bisa memfasilitasi transaksi jual beli. Selain itu logistik dan penetrasi ke pelanggan akhir juga masih jadi tantangan di Indonesia.

Tapi Erika yakin bahwa social commerce akan terus berkembang.

“Beberapa tahun lalu, kita mungkin tidak bisa memprediksi e-wallet seperti GoPay bisa digunakan di warung makan, [tapi hal tersebut sudah terwujud di Indonesia saat ini],” ujarnya.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Yasser Paragian sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Ancha Hardiansya)