Pada Maret 2020 , startup jaringan hotel berbiaya murah OYO merumahkan 5.000 karyawan mereka di India, Cina, dan Amerika Serikat. Founder dan CEO OYO Ritesh Argarwal menyatakan langkah tersebut terpaksa diambil akibat pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Valuasi OYO diperkirakan turun jadi sekitar US$6 miliar (Rp84 triliun), setelah sebelumnya sempat menembus US$10 miliar (setara Rp141 triliun) dan mengantongi pendanaan sebesar US$1,5 miliar (Rp20,9 triliun) dari Softbank dan RA Hospitality tahun lalu.
Di Indonesia sendiri, OYO juga tengah berjuang untuk bisa terus bertahan hidup. Riset Mckinsey tentang perilaku konsumen Indonesia setelah terjadi pandemi COVID-19 menyatakan minat melakukan perjalanan domestik menurun sebanyak 80 persen. Sedangkan minat masyarakat untuk menginap di hotel juga turun sekitar 84 persen.
Tingkat okupansi anjlok
Eko Bramantyo selaku Country Head Emerging Business OYO Indonesia mengakui bahwa saat ini bisnis perusahaannya sedang berada di situasi pelik. Tingkat okupansi OYO di seluruh Indonesia anjlok besar-besaran
“Di bulan April (tingkat okupansi) berputar di bawah 20 persen. Masuk periode Mei mulai terlihat kurva peningkatan,” jelas Eko. Meski begitu, hingga saat ini ia menyatakan tingkat okupansi jaringan hotel OYO masih berada di kisaran 40 persen saja. Masih jauh dari kondisi ideal.
Penurunan ini memang tidak hanya dirasakan oleh OYO. Sebagian besar pemain di industri perhotelan dan pariwisata mengeluhkan hal yang serupa. Menurut perusahaan modal ventura GDP Venture, setidaknya ada 737 hotel yang tutup (baik permanen maupun sementara) di Indonesia akibat pandemi ini.
Perubahan yang ekstrem dan mendadak ini dikatakan Eko memaksa OYO untuk mengubah perspektif bisnisnya. Fokus mereka sebelumnya adaal ekspansi dan penetrasi pasar, kini menjadi sebuah upaya bertahan hidup.
Terpaksa merumahkan karyawan
Salah satu langkah sulit yang diambil OYO adalah meminta sebagian pekerjanya untuk mengambil cuti di luar tanggungan ( unpaid leave ) pada 25 April 2020 lalu. “Ada 50 persen dari 800 karyawan kami yang diminta cuti di luar tanggungan,” jelas Eko.
Namun ia menekankan bahwa pihak OYO tidak lepas tangan begitu saja pada nasib pegawainya yang dirumahkan sementara. OYO menyatakan sudah melunasi tunjangan hari raya (THR) pegawai, serta tetap memberi tunjangan serta asuransi kesehatan bagi pegawainya selama menjalani unpaid leave .
Tech in Asia mencoba mengonfirmasi klaim tersebut ke pihak karyawan langsung. Dari ketiga karyawan OYO yang berhasil dihubungi, ketiganya mengaku OYO benar menepati janjinya terkait tunjangan dan asuransi kesehatan.
“Masih dapat tunjangan Rp1,5 juta per bulan. Asuransi kesehatan dan fasilitas kantor seperti laptop juga masih saya pegang,” ungkap Heru (bukan nama sebenarnya).
Budi (nama samaran), karyawan OYO lain yang kami hubungi, mengecam cara manajemen menyampaikan kebijakan ini kepada pegawai. Menurut Budi, pihak OYO mengirimkan e-mail pada 23 April 2020 lalu yang secara garis besar menawarkan dua opsi kepada karyawan:
• Menerima kebijakan unpaid leave, atau
• Mengundurkan diri secara sukarela.
Budi menjelaskan sebelumnya sudah sempat dilakukan one-on-one session antara karyawan dengan functional head masing-masing terkait kondisi terkini perusahaan. Namun, sejauh yang ia tahu, tidak ada diskusi terbuka yang secara spesifik membahas kebijakan unpaid leave tersebut.
Menurut Budi, kebijakan unpaid leave ini tidak diatur di undang-undang ketenagakerjaan. Ia meyakini idealnya pihak perusahaan dan karyawan duduk bersama agar ditemukan titik temu yang disepakati kedua belah pihak.
“Pihak OYO melakukan pelaksanaan cuti tidak berbayar secara sepihak, dengan memberikan informasi melalu e-mail teruntuk karyawan yang tidak setuju dengan dua opsi sebelumnya,” lanjut Budi sambil menunjukan e-mail yang dikirimkan pihak OYO kepadanya.
Langkah OYO yang juga langsung menangguhkan semua media komunikasi internal perusahaan juga ia lihat sebagai langkah keliru. Ia merasa, dengan begitu perusahaan jadi memutus jalur komunikasi antara perusahaan dengan karyawan.
Ketika dikonfirmasi soal keputusan yang dinilai sepihak oleh Budi, pihak OYO menyatakan bahwa langkah ini dinilai lebih baik dibanding melakukan PHK secara massal.
Ubah model bisnis
Selain merampingkan organisasi perusahaan, OYO juga mengubah model bisnis dan skema kerja sama mereka dengan pihak mitra properti. Sebelumnya, OYO menjanjikan minimum guarantee (MG) setiap bulan kepada para mitra yang bersedia bergabung ke jaringan properti OYO. Namun kini, OYO mengubah skema kerja sama mereka menjadi bagi hasil ( revenue sharing ).
Menurut Eko, skema MG mampu membuat angka pertumbuhan mitra OYO tumbuh sangat cepat, namun sangat membebani keuangan perusahaan. Dengan kondisi di mana bisnis sedang buruk saat ini, ia mengakui OYO perlu berubah dan mengadopsi model bisnis yang lebih sustainable jangka panjang.
Selain itu, OYO juga menggalakkan protokol kesehatan sanitized stay ke mitra properti mereka. Protokol ini sudah disampaikan OYO ke sejumlah mitra properti lewat rangkaian webinar, dan diharapkan bisa memantik minat konsumen untuk menginap sambil tetap memperhatikan aspek keselamatan.
Kendati sudah melakukan berbagai penyesuaian operasional dan strategi bisnis, Eko tidak berani bicara banyak tentang target yang ingin dicapai perusahaannya di 2020, baik itu tentang tingkat okupansi ataupun market share OYO di industri perhotelan dalam negeri.
Ia melihat kondisi selama pandemi COVID-19 ini sangat tidak menentu. Adanya perubahan regulasi dari pemerintah yang sulit diprediksi juga dinyatakan Eko membuat proses forecasting bisnis mustahil untuk dilakukan secara tepat.
Contohnya OYO sempat mempersiapkan lonjakan okupansi di sekitar hari raya Idulfitri lalu, mengacu pada tren di tahun sebelumnya. Namun ternyata pemerintah justru memperketat regulasi dan akhirnya okupansi yang diharapkan melonjak justru makin lesu.
Eko juga enggan berspekulasi soal kapan masa pandemi ini akan berakhir. Pelonggaran regulasi yang kini disiapkan pemerintah sebagai masa transisi pun tidak terlalu ditanggapi Eko dengan optimistis. Ia meyakini selama vaksin untuk COVID-19 belum ditemukan, industri pariwisata dan perhotelan masih sulit untuk hidup kembali.
Dibanding menggantungkan harapan pada spekulasi yang tidak menentu, Eko memilih untuk menyiapkan OYO menghadapi masa sulit yang panjang. “Setelah konsolidasi (perampingan organisasi), situasi sulit seperti ini sampai tahun depan pun kita siap,” terang Eko.
Polemik perubahan skema kerja sama dan refund
Perubahan skema kerja sama yang mendadak ternyata juga menjadi polemik. Banyak mitra properti menyayangkan keputusan ini, khususnya terkait cara OYO mengambil keputusan ini dan mengomunikasikannya kepada mitra.
Beberapa mitra yang merasa dirugikan mengirimkan cerita masing-masing ke akun media sosial @oyobikinrugi_ di Instagram. Selain mitra, banyak juga konsumen yang menyampaikan keluhan, mayoritas terkait dengan proses refund yang tak kunjung tuntas. Kini akun tersebut sudah ditutup sesuai permintaan dari pihak OYO Indonesia.
Tech in Asia sempat menghubungi admin dari akun tersebut, dan terhubung ke beberapa mitra dan konsumen yang kecewa dengan kinerja OYO. Salah satunya adalah Rahmat (bukan nama sebenarnya), pemilik properti kos-kosan yang akhirnya diubah jadi hotel harian oleh OYO.
Ia menyampaikan, bukan sekali ini saja OYO menyampaikan sesuatu dengan mendadak kepada mitra. Bahkan terkait perubahan harga properti ataupun promosi pun ia mengaku kerap kali diberi tahu secara mendadak, atau bahkan tidak sama sekali.
“Perjanjiannya kita adalah mitra, tapi kenyataannya keputusan banyak yang diambil sepihak. Untuk kami pilihannya hanya terima atau berhenti (menjadi mitra)”, jelas Rahmat.
Rahmat juga mengaku sudah mendengar protokol kesehatan yang diinisiasi OYO. Diakui Rahmat itu merupakan inisiatif baik, namun ia juga menyatakan bahwa pada akhirnya itu berpotensi membebani mitra karena biaya pengadaan barang untuk mendukung protokol tersebut ditanggung oleh mitra.
“Mereka (OYO) hanya bantu dari sisi pemasarannya di aplikasi. Untuk barang seperti thermo gun dan hand sanitizer kita diminta siapkan sendiri,” lanjut Rahmat. Ia juga mengutip pihak OYO yang memperkirakan mitra butuh merogoh kocek Rp1,5-3 juta untuk membeli perlengkapan protokol.
Menyikapi itu, Eko menjelaskan bahwa saat ini proses sosialisasi skema kerja sama baru masih terus gencar dilakukan pihaknya. Ia juga menyadari akan ada beberapa mitra yang tidak setuju dengan skema baru yang ditawarkan. Ia berharap, bisa segera ditemukan titik temu sehingga kedua pihak bisa saling sepakat.
Sementara terkait refund , Carlo Ongko selaku Country Stock Head OYO Indonesia menjelaskan perusahaannya selalu berkomitmen untuk menyelesaikan pengajuan refund secepat mungkin. Namun ia juga menekankan pihaknya perlu melakukan validasi kelayakan dari setiap pengajuan refund yang masuk. Pihaknya berusaha memenuhi itu semua sesuai service level agreement (SLA) yang berlaku, yakni 45 hari.
Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, Carlo menyatakan sudah menyelesaikan 9.000 ajuan refund , atau sekitar 80 persen dari total ajuan yang OYO terima. Masih ada 20 persen lagi, atau sekitar 2.500-3.000 ajuan yang masih dikerjakan.
( Diedit oleh Iqbal Kurniawan )